Jumat, 18 November 2011

MENJADI ‘ASSET’ ATAU HANYA SEKEDAR ‘KESET’

datang tepat waktu. etos kerja tinggi. kerja tuntas. prilakunya pun cerdas. ikhlas dalam bersikap. tidak matre. namun menjunjung tinggi nilai profesionalisme. sosok yang mengagumkan. sosok yang bersih. peduli nan profesional.

berkarya tiada henti demi meraih ridho ilahi. hidupnya selalu punya orientasi. orientasi bersandar pada ilahi. tak sekedar puas dengan rentetan simpati. apalagi puja puji.

datang semau gue. kerja semrawut. pola kerja tidak sistematis, apalagi terencana. senengnya itung-itungan waktu kerja. jika dirasa lebih, minta ‘sesuatu yang lebih’. jika kurang? ah, asalkan tidak ada yang ‘berang’ itu its oke bang.

mau kerja asal ada intruksi. tak ada inisiatif alias zumud. beku. berkarya asalkan ada nilai materi. jika tidak ada, ujung-ujungnya pasti sakit hati. seterusnya adalah caci maki. na’udzubillah.

beda. memang beda. mana asset dan mana yang sekedar keset.

asset yang dia akan berumur dan bermanfaat lebih panjang. keset yang dia hanya bermanfaat sesaat saja. hanya menjadi bagian kecil dari peradaban, lalu akan dilupakan dan ditinggalkan oleh tinta sejarah.

Allah Maha Tahu segala urusan hati. tak ada yang luput dari dzat-Nya. sekecil apapun lintasan itu, sekecil apapun amal itu, Allah Maha Tahu. Allah Maha Tahu yang berkarya dan tidak. yang diam dan yang bergerak. tidak akan pernah tertukar. reward and punishment selalu ada dalam perhitungan-Nya.

bagi kita yang ‘berprestasi’ tentu ada reward yang lebih bermakna dari sisi-Nya. bukan hanya sekedar materi tapi lebih mulia dari itu. namun bagi kita yang hanya demen ‘berfantasi’ tentu ada pula konsekuensi-Nya. tak ada nilai ilahi hanya materi. in ahsantum ahsantum lii anfusikum… karena sesungguhnya kebaikan yang kita lakukan sejatinya adalah untuk kita sendiri. begitu pun sebaliknya.

mayyattaqillaha yaz’alahu makhroja wa yarjukhum minhu haitsu layahtasib… barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan tunjukan jalan yang tidak pernah terduga. rizki yang tak terduga termasuk didalamnya. keberkahan dan kemudahan bagi mereka yang sungguh-sungguh. itu jaminan. garansi dari Sang Pemilik siang dan malam.

teringat nasehat seorang ustadz

“mimpi kita adalah mimpi besar. visi kita pun adalah visi yang besar. butuh pengorbanan sebagai mahar perwujudannya. butuh para ksatria yang kokoh ruhaninya. terbaik karya-karyanya. jadilah asset bagi peradaban ini. insyaAllah akan ada balasan dari-Nya. dikenang jasa-jasanya. disambut karya-karyanya. jangan hanya menjadi keset bagi peradaban ini, yang dia hanya bermanfaat sesaat saja. diinjak, lalu akan dilupakan dan ditinggalkan oleh sejarah”. "Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amal-amal kalian itu…”(QS. At-taubah 105)

wahai diri… bekerjalah!

Minggu, 13 November 2011

Rindu Malam Sunyi

Bismillahirrahmanirrahiim...

Bagi para pejuang, ritme hidupnya tak ada yang sia-sia. kondisi sulit atau bahagia. kondisi lemah atau kuat. selalu ada celah memetik hikmah. pelajaran. Di setiap peristiwa selalu ada yang istimewa. istimewa untuk memetik dan menikmati buah hikmah. Hikmah yang menjadi puzzle pengokohan aqidah. hikmah yang menguji kedalaman ma’rifah.

Bagi para pejuang, berat ringannya ujian selalu menggugah gairah. gairah beramal, berkarya tanpa batas. gairah yang menumbuhkan sikap optimisme. optimis untuk meraih yang terbaik. optimisme yang mampu meledakan segala kehendak yang terpasung kemalasan. tersandera kelalaian.

Bagi para pejuang, syurga selalu menjadi idaman. amal-amalan sebagai tebusan. dakwah sebagai perjuangan. Jihad sebagai jalan pengorbanan. perfect...

Alangkah bahagianya saat keimanan selalu berada pada titik aman. titik kulminasi yang membuat ibadah kita terasa nikmat. hidup tidak terasa penat. amal dakwah pun tak pernah lelah. semakin bergairah. dan terus bergairah.

Namun, kala diri sedang lemah, lesu tak bergairah. beramal pun tak terasa nikmat. ketika susah selalu berkeluh kesah. ketika diberi amanah selalu berada di posisi yang ‘kalah’. Mungkin itu fitrah. fitrah kita sebagai manusia. Mungkin juga setiap kita pernah merasakan pada posisi itu. posisi yang serba sulit. posisi iman yang sedang ‘sakit’.

Hmmm....

Malam senyap. mushola tak bertuan atau mungkin tuannya yang sedang tak nyaman. hampir tak ada suara. hanya merdunya suara rintik hujan. gemericiknya seperti nyanyian malam bernilai seni. hanya ‘sabda’ alam yang terdengar. bergemuruh. bertasbih. memuji keagungan Sang Pencipta. Sang Pencipta malam. Sang Pencipta alam. Rintihan semilir angin menyayat kulit. menusuk tulang. dingin terasa. Gelapnya malam, sungguh sempurnalah kesenyapannya. malam ini benar-benar malam yang senyap.

Sekali waktu, diri kita sangat butuh nuansa kesenyapan. sunyi. hanya suara hati yang berbicara. berinteraksi dengan Sang Pemilik hati. Sang Pemilik jiwa. Senyap sejenak, agar jiwa kita mampu meresapi kelemahan, merenungi kelalaian, mengevaluasi setiap amalan dan menentukan langkah selanjutnya menapaki efisode kehidupan. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)... (QS. Al Hasyr: 18). Rasulullah saw pernah melakukan hal yang sama. Menjauhi keramaian, uzlah dan ber-khalwat dengan Rabb-Nya di sebuah Gua sunyi nan senyap. Puncak perenungan luar biasa nan dahsyat Rasulullah saw adalah saat Allah swt menurunkan wahyu pertama. petunjuk. solusi dari apa yang menjadi kerisauannya. kerisauan tentang umatnya.

Banyak hal yang harus direnungkan secara mendalam. sangat dalam. sampai tak ada celah untuk uzub. bangga diri. diri yang tak henti melakukan kesalahan. kesalahan sama. diri yang sering lupa akan karunia dan nikmat-Nya. diri yang sering lalai menjalankan amanah. Atau betapa yang sering kita mengarahkan telunjuk kepada orang lain ‘itu salah dia!’, tapi jarang sekali mengarahkannya pada diri kita ‘ya, itu salah saya!’

Mengingat kembali target jangka pendek. menengah. dan target jangka panjang yang sudah dirancang. Evaluasi kerja akhir pekan, akhir bulan, laporan sempurna. tanpa cacat. bekerja lebih profesional.

Dakwah. tarbiyah dzatiyah. halaqoh muntijah. pengokohan kualitas diri. memperdalam keilmuan. Capaian tilawah. qiyamullail. sedekah dan amalan yaumi lainnya.

Nikah. “sempurnakan separuh kehidupan”. kapan? hmm... jika sudah layak, maka 3B –berusaha, berdo’a, bercermin- atau sebelum itu, mampukah menjawab pertanyaan “seberapa pantas kita untuk dirinya?” itu saja. Allahu’alam... semoga bermanfaat.

malam senyap di sebuah surau

al-faqih

Jumat, 11 November 2011

Cita Rasa Hidup

ya.. syabab... diperlukan keyakinan kuat agar hati kita mampu menangkap sinyal-sinyal hikmah, diperlukan keluasan ma’rifah agar pikiran kita mampu menerjemahkan setiap peristiwa dan diperlukan bashirah yang tajam agar diri mampu melahirkan keputusan bijak. sangat bijak.

kehidupan, kematian, limpahan rezeki dan jodoh adalah rangkaian ‘misteri’ yang telah digariskan-Nya. Dia yang menentukan. tidak berhak sedikit pun kita mencampuri segala kehendak-Nya. apalagi memaksakan kehendak. kita hanya diperintahkan untuk memaksimalkan potensi ikhtiari manusiawi. ikhtiar demi meraih yang terbaik. keyakinan sebagai sumber kekuatan. ma’rifah sebagai modal dan bashirah sebagai wasilah.“Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri… (QS. Ar Ra’d: 10)”

hidup ini penuh kejutan. banyak hal yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran kita, namun terjadi begitu saja. suka atau tidak suka. pun begitu sebaliknya, banyak hal yang selalu kita pikirkan, khayalkan sedemkian rupa sehingga tumbuh menjadi harapan, namun hal itu tidak pernah terjadi. mungkin tidak sedikit juga harapan kita sesuai dengan kehendak-Nya. sesungguhnya Allah swt punya kehendak yang tidak pernah bisa dijangkau mahluk-Nya. Allah swt paling tahu yang terbaik bagi kita. "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (QS. Al Baqarah : 216). unik memang. namun itulah cita rasa hidup. yang membuat hidup kita penuh fantasi full hikmah. sedih, senang, haru, rindu, marah, dan rasa cinta adalah adalah buah dari kejutan bergelimang fantasi yang dirancang dengan skenario Maha Dahsyat.

misteri datangnya azal -kematian- akan ‘memaksa’ kita untuk tetap waspada. Berazzam diri tuk senantiasa istiqomah dalam kebaikan. tujuannya satu, harapannya satu agar meraih husnul khotimah.

be continued....

Biarkan kehendak-Nya yang berjalan.... Allahu’alam

Rabu, 20 Oktober 2010

KADER, KOK PACARAN?

Alhamdulillah kang, kader yang terekrut sekarang banyak, tapi saya bingung kang, karena banyak juga diantara mereka yang masih merokok dan pacaran, gimana yah kang?(percakapan dengan salah satu pengurus LDK)

Secara pribadi, sebenarnya saya agak sulit menerangkan mengenai mengapa kader dakwah bisa terkena virus ini, Virus Merah Jambu (VMJ). Namun disisi lain, tampaknya saya merasa perlu merespon segera fenomena ini dengan pikiran yang jernih sehingga solusi yang muncul bisa bernilai pencerahan. Jika kita mengkaji lebih dalam, istilah VMJ (disebut: sindrom pacaran) di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan generasi muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa muda memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.

Sejatinya, Islam sebagai diin syamil mutakamil yang diturunkan sebagai rahmat bagi manusia mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Termasuk rasa suka dan cinta kepada lawan jenis. Sebagaimana Firman-Nya: `Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik `(QS. Ali Imran :14)

Dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan non mahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surat An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.

Adapun, hubungan yang kedua adalah hubungan non mahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan non mahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh yang lain (akhwat lain). Misalnya, jika ada seorang ikhwan aktivis dakwah kampus yang ingin berinteraksi dengan akhwat sesama aktivis ataupun bukan, maka harus ditemani oleh salah satu ikhwah diantara mereka. Dengan demikian, hubungan non mahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam. Perhatikan dan renungkanlah uraian berikut ini.

Syariat Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas untuk mengatur pola interaksi antara laki-laki (ikhwan) dan perempuan (akhwat). Islam tidak membenarkan adanya pergaulan seseorang dengan yang bukan muhrimnya.

Islam juga tidak membolehkan menumpahkan perasaan suka diantara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan cara ‘berpacaran’ dikarenakan hal itu memberikan peluang kepada setan untuk membisikkan kalimat-kalimat kotornya kedalam diri mereka yang kemudian bisa membuka pintu-pintu perzinahan. Sebagaimana firman-Nya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (Al-Israa’: 32). Diplomatis dan jelas. Artinya, tidak ada alasan apapun untuk membenarkan adanya ‘pacaran’, karena ‘pacaran’ sama dengan mendekati zina.

Pintu-pintu zina yang tidak jarang muncul dari perbuatan ini (baca : pacaran) adalah memandang lawan jenis yang bukan mahramnya dan tidak jarang disertai dengan syahwat diantara mereka berdua, saling bersentuhan kulit bahkan tidak jarang berakhir dengan perzinahan. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Syauki tentang memandang yang dilarang ini yaitu: “Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji dan akhirnya bertemu.”

Dalam konsep Islam, rasa cinta kepada lawan jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah rasa cinta sejati, rasa cinta yang dilandasi keimanan kepada Allah swt, melainkan hanya nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat. Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, FB, chatting dan sejenisnya.

Bagaimana kita menghindari ‘sindrom pacaran’?
Pertama, tidak berkhalwat dengan lawan jenis, "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim)

Jagalah dirimu, wahai ukhti. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q.S. An Nuur : 31).

Bagaimana kita mencari jodoh (pasangan hidup)?
Perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADHA' (ketentuan) Allah swt, dimana kita tidak punya kekuatan sama sekali untuk menentukannya, kita hanya bisa berikhtiar dan Dia-lah yang menentukan. Namun yang menjadi pertanyaan, ikhtiar seperti apa yang akan dilakukan? Sesuai tidakkah dengan cara dan nilai-nilai Islam. Oleh karena sesungguhnya ikhtiar kita akan menentukan hasil apa yang akan kita peroleh. Sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."

Ikhwan yang baik hanya untuk akhwat yang baik, begitu sebaliknya, akhwat yang bisa menjaga dirinya akan mendapatkan pendamping yang juga terjaga ahlaknya.
Terinspirasi, catatan qodhoya sebuah LDK

Jumat, 27 Agustus 2010

Jati Diri Kader Dakwah

Sebuah Prolog.....

Dakwah adalah jalan panjang dan akan ditempa oleh beberapa generasi, dimana generasi satu dengan yang lainnya memberikan corak dan warna perubahan yang berbeda. Jalan dakwah adalah jalan Rasulullah saw menunjukkan umat ini kepada hidayah Allah swt.

Dakwah adalah jalan yang mempersatukan seluruh hamba-Nya yang beriman didalam satu ikatan ukhuwah imaniyah. Dan dakwah adalah satu-satunya jalan untuk merealisasikan syariah-Nya di bumi ini, sehingga Islam dapat dirasakan oleh semua makhluk sebagai rahmat Allah swt. Bukanlah sesuatu yang dipungkiri bahwa tugas dakwah memang bukanlah tugas yang ringan. Terkadang tugas dakwah menjadi beban berat untuk dipikul. Terlebih lagi bagi kader dakwah yang memiliki berkepribadian rentan dan rapuh. Tugas itu menjadi tembok besar yang teramat sulit untuk dilewati. Namun tidak demikian bagi kader pilihan, kader yang memiliki militansi dan kader memliki kekokohan jati diri sebagai aktifis dakwah. Mereka akan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menunaikan tugas mulia itu dengan sebaik-baiknya. “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108).

Jati diri adalah identitas. Jati diri kita sebagai seorang muslim berarti segala tindakan yang dilakukan selalu dalam core nilai-nilai Islam (muslim kaafah). Jati diri kita sebagai kader dakwah berarti segala amal yang dilakukan harus memiliki effect positif dimasyarakat. Sehingga orang-orang disekitarnya mampu menyerap pancaran kebaikan dari segala tindakan yang dilakukannya. Jati diri menjadi sangat penting dimiliki setiap kader dakwah, oleh karena hal itulah yang membedakan dengan yang lainnya. Dengan jati diri yang dimilikinya, kader dakwah akan mampu memberikan warna unik ditengah masyarakat. Dalam bukunya, ustad Anis Matta mengungkapkan bahwa, hendakya setiap kader dakwah memiliki ‘lingkaran kebenaran’ dalam beberapa diameter keberadaannya, artinya siapapun yang berbicara dengannya, siapapun yang mendengarkannya dan siapapun yang melihat tingkah lakunya, mampu menyerap pancaran kebenaran dan pancaran kesalehan.

-sumber buku: jati diri kader dakwah-