Rabu, 20 Oktober 2010

KADER, KOK PACARAN?

Alhamdulillah kang, kader yang terekrut sekarang banyak, tapi saya bingung kang, karena banyak juga diantara mereka yang masih merokok dan pacaran, gimana yah kang?(percakapan dengan salah satu pengurus LDK)

Secara pribadi, sebenarnya saya agak sulit menerangkan mengenai mengapa kader dakwah bisa terkena virus ini, Virus Merah Jambu (VMJ). Namun disisi lain, tampaknya saya merasa perlu merespon segera fenomena ini dengan pikiran yang jernih sehingga solusi yang muncul bisa bernilai pencerahan. Jika kita mengkaji lebih dalam, istilah VMJ (disebut: sindrom pacaran) di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan generasi muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa muda memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.

Sejatinya, Islam sebagai diin syamil mutakamil yang diturunkan sebagai rahmat bagi manusia mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Termasuk rasa suka dan cinta kepada lawan jenis. Sebagaimana Firman-Nya: `Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik `(QS. Ali Imran :14)

Dalam Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan non mahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surat An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan. Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.

Adapun, hubungan yang kedua adalah hubungan non mahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan non mahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh yang lain (akhwat lain). Misalnya, jika ada seorang ikhwan aktivis dakwah kampus yang ingin berinteraksi dengan akhwat sesama aktivis ataupun bukan, maka harus ditemani oleh salah satu ikhwah diantara mereka. Dengan demikian, hubungan non mahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam. Perhatikan dan renungkanlah uraian berikut ini.

Syariat Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas untuk mengatur pola interaksi antara laki-laki (ikhwan) dan perempuan (akhwat). Islam tidak membenarkan adanya pergaulan seseorang dengan yang bukan muhrimnya.

Islam juga tidak membolehkan menumpahkan perasaan suka diantara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dengan cara ‘berpacaran’ dikarenakan hal itu memberikan peluang kepada setan untuk membisikkan kalimat-kalimat kotornya kedalam diri mereka yang kemudian bisa membuka pintu-pintu perzinahan. Sebagaimana firman-Nya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk,” (Al-Israa’: 32). Diplomatis dan jelas. Artinya, tidak ada alasan apapun untuk membenarkan adanya ‘pacaran’, karena ‘pacaran’ sama dengan mendekati zina.

Pintu-pintu zina yang tidak jarang muncul dari perbuatan ini (baca : pacaran) adalah memandang lawan jenis yang bukan mahramnya dan tidak jarang disertai dengan syahwat diantara mereka berdua, saling bersentuhan kulit bahkan tidak jarang berakhir dengan perzinahan. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Syauki tentang memandang yang dilarang ini yaitu: “Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji dan akhirnya bertemu.”

Dalam konsep Islam, rasa cinta kepada lawan jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah rasa cinta sejati, rasa cinta yang dilandasi keimanan kepada Allah swt, melainkan hanya nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat. Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, FB, chatting dan sejenisnya.

Bagaimana kita menghindari ‘sindrom pacaran’?
Pertama, tidak berkhalwat dengan lawan jenis, "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim)

Jagalah dirimu, wahai ukhti. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q.S. An Nuur : 31).

Bagaimana kita mencari jodoh (pasangan hidup)?
Perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADHA' (ketentuan) Allah swt, dimana kita tidak punya kekuatan sama sekali untuk menentukannya, kita hanya bisa berikhtiar dan Dia-lah yang menentukan. Namun yang menjadi pertanyaan, ikhtiar seperti apa yang akan dilakukan? Sesuai tidakkah dengan cara dan nilai-nilai Islam. Oleh karena sesungguhnya ikhtiar kita akan menentukan hasil apa yang akan kita peroleh. Sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."

Ikhwan yang baik hanya untuk akhwat yang baik, begitu sebaliknya, akhwat yang bisa menjaga dirinya akan mendapatkan pendamping yang juga terjaga ahlaknya.
Terinspirasi, catatan qodhoya sebuah LDK

1 komentar:

akh ali mengatakan...

seharusnya setiap yg mengaaku beragama islam, membaca dan menghayati artikel semavcam ini.